Seperti biasa sehabis mengaji aku
selalu main ke rumah nenekku, jarak rumah nenekku tidak begitu jauh dari rumah
dan tempatku mengaji berada. Waktu itu aku masih berumur 6 tahun, namun
kejadian ini masih sangat aku ingat.
Selesai
mengaji tepat pukul 8 malam, aku selalu dijemput oleh mama dan langsung menuju
rumah nenekku. Seperti biasa disana selalu ramai, dan di rumah nenekku tinggal
terdapat 2 keluarga didalam satu rumah, makanya selalu ramai. Belum lagi salah
satu om aku yang selalu rapat di rumah dan selalu ada beberapa temannya.
Aku
selalu bermain dengan kakak sepupu beserta adiknya, tetapi untuk malam ini aku
tidak dapat bermain dengan mereka karena ternyata mereka sudah tidur. Alhasil
aku hanya bermain dengan salah satu tanteku, tante Oty namanya. Tanteku yang
satu ini sangat lucu dan selalu membuatku tertawa. Bahkan kadang ia suka
menginap untuk menemani aku dan mamaku di rumah ketika ayah pergi keluar kota
untuk urusan pekerjan.
Entah
kenapa malam itu rasanya aku menginginkan permen karet, dan aku merajuk ke
tante Oty untuk dibelikan. Tanpa menunggu aku menangis untuk mendapatkan permen
karet akhirnya dia mau membelikannya. Dan saat mau berangkat mamaku menghampiri
kami, “mau kemana? Udah jam segini mau jalan-jalan?”
“gak, ini Riri minta jajan, minta
permen karet.” Jawab tanteku.
“mau beli dimana?”
“mau beli di warung bawah,
warungnya bang Parjo.”
“yaudah aku ikut juga deh,
sekalian beli teh buat di rumah.”
***
Akhirnya
kami pergi ke warung. Waktu malam itu jalan cukup gelap, hanya ada beberapa
lampu jalan yang menerangi. Daerah rumah nenekku seperti perkampungan, tetapi
kalo dilihat sekilas seperti komplek rumah, karena rumah disana tertata dengan
rapih dan rumahnya juga bagus-bagus.
Jarak
dari rumah nenek ke warung tidak memakan waktu lama, karena letaknya cukup
dekat. Keluar dari rumah nenek kami harus jalan lurus, dan bertemu perempatan
kami harus belok ke kanan yg jalannya agak menurun dijalan yang agak menurun
ini penerangannya sangat kurang, karena hanya ada lampu jalan di perempatan
sebelum jalan menurun dan yang satu lagi terdapat di perempatan jalan didekat
warung bang Parjo.
Dijalan
agak menurun ini terdapat lapangan volly disebelah kiri, dan didekatnya
terdapat kebon besar yang terdapat beberapa pohon yang cukup besar; beberapa
pohon bambu, pohon pisang, dan pohon rambutan. Disebelah kanan terdapat
posyandu, didekatnya juga terdapat kebon tetapi tidak sebesar yang didekat
lapangan volly. Kebon tersebut terdapat beberapa pohon yang cukup besar; ada
pohon rambutan, pohon pisang, pohon nangka, pohon alpukat.
***
Akhirnya
kami sampai ditujuan, kami langsung mengambil apa saja yang memang ingin kami
beli. Letak warung bang Parjo tepat di perempatan sesudah jalan menurun, dan
tepat dibawah lampu jalan. Diseberang warungnya adalah kebon yg didekat
lapangan volly, sangat gelap jika melihat keseberang warung.
Setelah
selesai membeli kami langsung kembali ke rumah nenek, dan saat jalan pulang aku
sambil memakan permen karetku. Jalanan kembali menjadi cukup gelap, saat jalan
pulang kini posisi lapangan volly dan keon cukup besar berada disebalah kanan,
begitupun sebaliknya posisi posyandu.
Saat
jalan pulang aku merasa ada yang aneh. Tepat di kebon lapangan volly, seperti
ada yang memperhatikan dari jauh. Tapi aku tidak memperdulikan, toh siapa yang
sedang memperhatikan didalam kebon malam-malam begini?
Semakin
lama rasanya yang memperhatikan semakin dekat, dan aku pun menoleh kearah
kebon. Yang aku lihat hanya sebatas bayangan seseorang, tapi.. kalau diperhatikan
bukan seperti seseorang yang aku kenal. Aku berhenti jalan seketika, saat jalan
pulang aku digandeng oleh mama, dan mama pun ikut berhenti jalan begitu pula
tante Oty.
Aku
masih menoleh dan menatap lebih serius kearah kebon, bayangan tersebut tepat
dibelakang pohon pisang.
“kenapa? Ko berenti? Mau
digendong?” tanya mama.
“Gak, ma gak. Itu loh ma, siapa
sih?”
“siapa? Siapa maksud kamu?” tanya
tante Oty sambil ikut menoleh kearah kebon, dan mama ikut menoleh. “Gak ada
siapa-siapa ah, gelap begitu. Ngaco aja kamu.” Tambahnya.
“Ih itu loh ma, tan, ada yang
ngumpet dibelakang pohon pisang yang itu,” jawabku sambil menunjuk kearah pohon
pisang, mama dan tanteku keheranan dengan apa yang aku bilang. Akhirnya mereka
kembali memperhatikan kearah kebon dan lebih memperhatikan kearah yang aku
tunjuk. “dia dari tadi kayak ngeliatin kita terus tau pas kita abis jajan, tapi
aku gak kenal dia siapa.”
“Emang yang kamu liat kayak apa?”
tanya tanteku yang tambah bingung, tetapi wajah mama dan tanteku terlihat ketakutan
menurutku. Mata mereka saling pandang dan bebarengan memandangku.
“matanya melotot gitu, tapi merah
terang kayak ada apinya. Mukanya kotor kayak kena tanah tapi kayak ada
merah-merah dimukanya. Yang merah dimukanya apa?” jawabku santai sambil
memperhatikan yang ‘mengumpat’ itu.
“serius? Dia pake baju apa?”
tanya tanteku penasaran.
“bajunya aneh, kayak
dibuntel-buntel gitu udah gitu ditengahnya diiket pake tali. Oh iya! Diatas
kepalanya juga dikuncir. Tapi.. ko serem ya? Aku takut..”
“kamu takut kenapa?”
“itu, dia melotot ke aku. Dia
jalan pelan kearah kita. Aku takut.. mukanya serem.. matanya melotot.. tambah
merah matanya.. dia kayak di film horror yang lompat-lompat itu loh ma, tan,
apa tu namanya?”
“POCONG!! LARIIIIIII..!!” teriak
mama dan tanteku berbarengan. Ketika mereka aku langsung digendong oleh
tanteku.
Aku tidak mengerti apa yang
diteriaki mama dan tanteku tadi. Aku bingung.
***
Sesampainya
di rumah nenek, mama dan tanteku tergopoh-gopoh. Nafas mereka berat, seperti
seseorang yang tengah ikut lomba lari. Omku dan beberapa tamunya kebingungan
melihat tingkah kami, khususnya melihat mama dan tanteku.
“kenapa? Kok lari-larian gitu
kayaknya lo pada?” tanya omku.
“ itu bang, anu, Riri.. Riri
bang, liat itu..” jawab tanteku.
“liat apaan Riri?”
“LIAT POCONG!!” jawab mama dan
tanteku.
“ha? Pocong? Dimana?”
“di kebon lapangan volly, dibalik
pohon pisang dia liatnya tadi. Makanya kita lari sambil gendong Riri.”
“lah? Kok bisa ketemu kayak
begituan? Kok bisa liat Riri?”
“gak tau gue bang, gak tau. Yang
penting kita udah sampe sini.. udah sampe rumah aja Alhamdulillah banget.”
Jawab tanteku yang masih setengah ketakutan.
Omku
memperhatikan aku dengan bingung, mungkin didalam pikirannya: ini anak kok bisa liat pocong?
Aku yang saat
itu masih kecil tidak mengerti apa pocong itu, apakah berbahaya atau tidak,
apakah jahat atau tidak. Yang aku tahu saat itu hanya satu, pocong itu:
MENAKUTKAN!
***
Hingga sekarang
aku tidak tahu siapa yang ada ‘dibaliknya’, entah aku kenal atau tidak. Atau
mungkin ‘dia’ ingin menyampaikan sesuatu? Entahlah..
END